Kerajaan Bone - Simbol Kejayaan, Kekuatan, dan Keagungan Bugis

Kerajaan Bone: Simbol Kejayaan, Kekuatan, dan Keagungan Bugis
Di antara hamparan daratan Sulawesi Selatan yang dikelilingi pesisir panjang dan dataran subur, berdirilah sebuah kerajaan besar yang namanya menjadi legenda hingga kini: Kerajaan Bone. Ia bukan hanya sekadar kerajaan yang berkuasa, melainkan juga simbol dari harga diri, kecerdasan politik, dan keteguhan adat masyarakat Bugis. Dalam setiap lembar sejarah, Bone digambarkan sebagai negeri yang tegas, berdaulat, dan tidak mudah tunduk pada siapa pun selain kepada kehormatan yang dijunjung tinggi Siri’.

Awal Berdirinya Kerajaan Bone
Jejak berdirinya Kerajaan Bone dapat ditelusuri hingga sekitar abad ke-14 Masehi. Menurut naskah kuno Lontara’, kerajaan ini lahir dari penyatuan beberapa komunitas kecil (wanua) yang hidup di sekitar pesisir Teluk Bone. Mereka kemudian sepakat untuk memilih seorang pemimpin yang mampu menjaga keseimbangan antar-wanua dan menegakkan hukum adat. Maka terpilihlah Manurungnge ri Matajang sosok yang diyakini “turun dari langit” atau datang dari tempat suci sebagai raja pertama Bone.

Gelombang mitologi dan realitas berpadu di titik ini. Sebagaimana tradisi Bugis yang sarat simbolisme, kisah manurung bukan sekadar legenda spiritual, tetapi lambang lahirnya pemerintahan yang sah, dihormati, dan diakui secara adat. Dari titik itulah Bone memulai langkah panjangnya menjadi pusat kekuatan politik Bugis.

Struktur Pemerintahan dan Hukum Adat
Salah satu keunggulan Kerajaan Bone terletak pada sistem pemerintahannya yang rapi dan berbasis hukum adat yang kuat. Masyarakat Bone hidup berdasarkan prinsip Pangadereng, yakni lima nilai utama yang menjadi fondasi kehidupan sosial Bugis:
  • Ade’ (adat),
  • Bicara (hukum atau keputusan pengadilan),
  • Rapang (preseden atau contoh keputusan sebelumnya),
  • Wari’ (tata hubungan sosial dan kekerabatan), dan
  • Sara’ (ajaran agama).
Melalui sistem ini, Bone membangun pemerintahan yang tidak bergantung semata pada kekuasaan raja, melainkan pada keseimbangan antara hukum, adat, dan moralitas. Raja dianggap sebagai penjaga adat dan pelindung keadilan, bukan penguasa mutlak. Ia harus mendengar nasihat dari para Arung (bangsawan), Ade’ (penegak adat), dan To Marilaleng (rakyat kebanyakan).

Sistem sosial yang demikian membuat Bone tidak hanya kokoh secara politik, tetapi juga stabil dalam menjaga keharmonisan antara pemimpin dan rakyat. Di sinilah letak kecerdasan politik orang Bugis bahwa kekuasaan sejati bukan untuk ditakuti, melainkan untuk menegakkan keseimbangan.

Era Keemasan dan Kejayaan Bone
Puncak kejayaan Kerajaan Bone terjadi pada abad ke-17, masa pemerintahan La Tenritatta Arung Palakka, raja ke-15 Bone. Nama Arung Palakka bergema jauh melampaui batas Sulawesi Selatan. Ia dikenal sebagai pahlawan yang disegani sekaligus tokoh yang penuh strategi dan kebijaksanaan.

Kisah Arung Palakka berawal dari masa kelam ketika Bone ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa-Tallo yang berpusat di Makassar. Gowa, dengan kekuatan militernya yang besar dan armada laut yang tangguh, berhasil menundukkan banyak kerajaan Bugis, termasuk Bone. Namun kekalahan itu bukan akhir, melainkan awal dari sebuah kebangkitan besar.

Arung Palakka, yang saat itu masih muda, menolak tunduk pada penindasan. Ia memilih melarikan diri ke Buton, kemudian ke Batavia (Jakarta) dan bersekutu dengan Belanda (VOC). Dari sanalah ia membangun kekuatan untuk merebut kembali tanah kelahirannya. Dalam perang besar yang dikenal sebagai Perang Makassar (1666–1669), Arung Palakka bersama sekutunya berhasil menaklukkan Gowa dan memulihkan kedaulatan Bone.

Namun kisah ini bukan sekadar tentang kemenangan militer. Arung Palakka memperlihatkan visi kepemimpinan yang luas, ia ingin mengembalikan kehormatan Bugis tanpa menghancurkan persaudaraan antarbangsa. Setelah perang usai, ia tidak memerintah dengan tangan besi, melainkan dengan kebijaksanaan dan diplomasi. Ia mengangkat Bone menjadi kerajaan terkuat di Sulawesi, namun tetap menjaga hubungan damai dengan kerajaan tetangga.

Bone Sebagai Pusat Peradaban Bugis
Di masa keemasannya, Bone menjadi jantung kebudayaan Bugis. Istana raja yang disebut Saoraja berdiri megah dengan arsitektur kayu yang elegan, melambangkan kehormatan dan keseimbangan alam. Seni ukir, kain tenun, dan musik tradisional berkembang pesat di bawah perlindungan istana. Bahasa Bugis ditulis dan dikodifikasikan dalam Lontara, sistem tulisan khas Bugis-Makassar yang menjadi warisan intelektual hingga kini.

Selain itu, Bone juga dikenal sebagai pusat pembelajaran hukum adat dan diplomasi. Banyak bangsawan dari kerajaan lain datang ke Bone untuk belajar tentang tata pemerintahan, etika kepemimpinan, dan strategi politik. Tidak berlebihan jika sejarawan menyebut Bone sebagai “universitas adat Bugis” tempat di mana kebijaksanaan dan kehormatan dijaga dengan penuh rasa tanggung jawab.

Islamisasi dan Adaptasi Spiritual
Sekitar abad ke-17, pengaruh Islam mulai meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan kerajaan. Raja Bone ke-13, La Tenrirawe Bongkange, menjadi penguasa pertama yang memeluk Islam, menandai era baru dalam perjalanan spiritual rakyatnya. Islam tidak menggantikan adat, melainkan menyatu dalam harmoni budaya Bugis melalui falsafah Ade’ na Sara’ “Adat dan agama berjalan seiring”.

Masjid-masjid mulai dibangun di pusat kerajaan, dan pengajaran agama Islam dilakukan bersama pendidikan adat. Dari sinilah muncul harmoni antara hukum agama dan hukum adat, menjadikan Bone sebagai contoh peradaban Bugis yang religius tanpa kehilangan jati dirinya.

Masa Penurunan dan Kolonialisme
Seiring berjalannya waktu, pengaruh politik Belanda di Sulawesi Selatan semakin kuat. Hubungan antara Bone dan VOC yang dulu bersifat aliansi, lambat laun berubah menjadi ketergantungan politik. Meskipun Bone tetap mempertahankan otonominya, tekanan ekonomi dan campur tangan kolonial mulai terasa di abad ke-18 dan ke-19.

Namun, rakyat Bone tidak pernah kehilangan semangatnya. Perlawanan terhadap dominasi Belanda terus terjadi di berbagai daerah. Nilai Siri’ (harga diri) yang mengakar dalam jiwa orang Bone menjadi bahan bakar perjuangan mereka untuk mempertahankan martabat dan kemerdekaan. Hingga masa kemerdekaan Indonesia tiba, Bone telah menorehkan jejak panjang perjuangan dan keteguhan hati dalam mempertahankan identitas Bugis.

Warisan Abadi Kerajaan Bone
Kini, jejak Kerajaan Bone masih bisa dirasakan dalam denyut kehidupan masyarakatnya. Istana Saoraja Watampone, peninggalan megah kerajaan, berdiri kokoh sebagai saksi bisu kejayaan masa lalu. Setiap tahun, masyarakat Bone menggelar pesta adat dan ritual kerajaan untuk mengenang leluhur mereka yang telah mengajarkan arti kehormatan dan kebijaksanaan.

Lebih dari itu, warisan terpenting Bone bukanlah istana atau gelar bangsawan, melainkan nilai-nilai luhur yang ditanamkan pada generasi penerus:

“Lebih baik mati dalam kehormatan, daripada hidup tanpa Siri’.”

Nilai ini menegaskan bahwa kebesaran Bone tidak lahir dari pedang atau kekayaan, melainkan dari martabat manusia yang menjunjung kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab sosial.
Penutup

Kerajaan Bone adalah cerminan keagungan Suku Bugis perpaduan antara kekuatan, kebijaksanaan, dan kehormatan. Dari kisahnya, kita belajar bahwa kekuasaan sejati bukan tentang menaklukkan orang lain, tetapi tentang menegakkan harga diri dan menjaga keseimbangan hidup.

Bone telah menulis babak penting dalam sejarah Nusantara, bukan hanya sebagai kerajaan besar, tetapi juga sebagai jiwa yang menanamkan makna kemanusiaan dan kepemimpinan sejati di tanah Bugis.

Admin : Andi Erni

Bagikan ke Media Sosial :
Artikel Terkait :