Di tengah bentangan perbukitan hijau dan lembah subur di bagian barat Sulawesi Selatan, berdiri sebuah kerajaan yang tenang namun penuh wibawa — Kerajaan Soppeng. Negeri ini dikenal dalam sejarah Bugis sebagai tanah yang melahirkan orang bijak, tempat di mana ilmu pengetahuan, kesetiaan, dan moralitas berpadu membentuk peradaban yang luhur.
Jika Bone adalah lambang kekuatan dan Wajo adalah simbol kebebasan, maka Soppeng adalah pusat kebijaksanaan dan ketenangan jiwa. Di tanah ini, kata lempu’ (kejujuran) dan getteng (keteguhan hati) bukan hanya semboyan, tetapi telah menjadi darah yang mengalir dalam nadi setiap rakyatnya.
Asal Usul dan Berdirinya Soppeng
Kerajaan Soppeng berdiri sekitar abad ke-14, sezaman dengan kemunculan kerajaan-kerajaan besar lain di jazirah Bugis. Menurut Lontara Soppeng, negeri ini awalnya merupakan gabungan dari sembilan wanua (desa besar) yang kemudian bersatu di bawah satu pemerintahan.
Nama Soppeng sendiri dipercaya berasal dari kata soppengeng, yang berarti berkumpul atau bersatu, melambangkan persatuan sembilan negeri itu di bawah satu panji perdamaian. Sejak saat itu, Soppeng berkembang menjadi pusat kebudayaan, spiritualitas, dan ilmu pengetahuan Bugis.
Sistem Pemerintahan dan Nilai Adat
Kerajaan Soppeng dipimpin oleh seorang Datu Soppeng, yang tidak hanya berperan sebagai raja, tetapi juga sebagai penjaga moral dan pelindung adat. Namun kekuasaan sang Datu tidak bersifat mutlak. Ia dibimbing oleh sebuah dewan adat (Ade’ Pitué) yang beranggotakan tujuh pemuka rakyat dari berbagai wilayah, yang berfungsi menasehati dan menyeimbangkan keputusan raja.
Dalam pandangan orang Soppeng, seorang pemimpin bukanlah penguasa yang harus ditakuti, tetapi “pajungngi to ri lino” payung bagi rakyat di dunia. Ia harus menaungi dengan kasih sayang, menegakkan keadilan dengan bijak, dan memimpin dengan hati yang jernih.
Maka dari itu, rakyat Soppeng menaruh hormat mendalam kepada pemimpinnya, bukan karena kekuasaannya, tetapi karena kebijaksanaannya dalam menjaga keseimbangan antara adat dan nurani.
Kehidupan Sosial dan Falsafah Hidup
Masyarakat Soppeng dikenal memiliki karakter yang halus dan berpendidikan. Mereka menjunjung tinggi adat siri’ na pacce kehormatan dan rasa empati namun mengekspresikannya dalam cara yang lembut dan berbudaya. Orang Soppeng tidak mudah tersulut amarah, tetapi bila prinsipnya dilanggar, mereka bisa berdiri dengan keberanian yang tenang, layaknya air yang tenang namun dalam.
Salah satu falsafah yang hidup di tengah masyarakatnya adalah:
“Siri’ nasabaé, lempu’ nasabaé, madeceng nasabaé.”
(Kehormatan, kejujuran, dan kebaikan adalah asal segala kemuliaan.)
Mereka percaya bahwa ilmu tanpa budi pekerti adalah kesombongan, dan kekuasaan tanpa keadilan adalah kebodohan. Karena itu, pendidikan moral selalu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Soppeng, bahkan sejak masa kanak-kanak.
Kerajaan Soppeng dipimpin oleh seorang Datu Soppeng, yang tidak hanya berperan sebagai raja, tetapi juga sebagai penjaga moral dan pelindung adat. Namun kekuasaan sang Datu tidak bersifat mutlak. Ia dibimbing oleh sebuah dewan adat (Ade’ Pitué) yang beranggotakan tujuh pemuka rakyat dari berbagai wilayah, yang berfungsi menasehati dan menyeimbangkan keputusan raja.
Dalam pandangan orang Soppeng, seorang pemimpin bukanlah penguasa yang harus ditakuti, tetapi “pajungngi to ri lino” payung bagi rakyat di dunia. Ia harus menaungi dengan kasih sayang, menegakkan keadilan dengan bijak, dan memimpin dengan hati yang jernih.
Maka dari itu, rakyat Soppeng menaruh hormat mendalam kepada pemimpinnya, bukan karena kekuasaannya, tetapi karena kebijaksanaannya dalam menjaga keseimbangan antara adat dan nurani.
Kehidupan Sosial dan Falsafah Hidup
Masyarakat Soppeng dikenal memiliki karakter yang halus dan berpendidikan. Mereka menjunjung tinggi adat siri’ na pacce kehormatan dan rasa empati namun mengekspresikannya dalam cara yang lembut dan berbudaya. Orang Soppeng tidak mudah tersulut amarah, tetapi bila prinsipnya dilanggar, mereka bisa berdiri dengan keberanian yang tenang, layaknya air yang tenang namun dalam.
Salah satu falsafah yang hidup di tengah masyarakatnya adalah:
“Siri’ nasabaé, lempu’ nasabaé, madeceng nasabaé.”
(Kehormatan, kejujuran, dan kebaikan adalah asal segala kemuliaan.)
Mereka percaya bahwa ilmu tanpa budi pekerti adalah kesombongan, dan kekuasaan tanpa keadilan adalah kebodohan. Karena itu, pendidikan moral selalu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Soppeng, bahkan sejak masa kanak-kanak.
Soppeng: Negeri Para Cendekia dan Pendeta Bugis
Soppeng dikenal luas sebagai pusat ilmu pengetahuan dan spiritualitas Bugis. Banyak pendeta, pujangga, dan ahli adat berasal dari negeri ini. Dalam lontara-lontara tua, Soppeng sering disebut sebagai tempat di mana “tulisan dan tutur bersatu menjadi cahaya”.
Dari Soppeng lahir banyak penulis lontara, ahli bahasa, dan pemuka agama yang kelak menyebarkan ilmu ke berbagai penjuru Sulawesi Selatan. Mereka menulis, menafsir, dan mengajarkan nilai-nilai luhur Bugis agar tak hilang dimakan zaman.
Rumah-rumah adat di Soppeng menjadi pusat pembelajaran, di mana anak muda diajarkan cara berbicara sopan, berpikir benar, dan bertindak sesuai ade’. Di sinilah tradisi Pangadereng sistem hukum dan tata moral Bugis dipelajari secara mendalam dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Soppeng dikenal luas sebagai pusat ilmu pengetahuan dan spiritualitas Bugis. Banyak pendeta, pujangga, dan ahli adat berasal dari negeri ini. Dalam lontara-lontara tua, Soppeng sering disebut sebagai tempat di mana “tulisan dan tutur bersatu menjadi cahaya”.
Dari Soppeng lahir banyak penulis lontara, ahli bahasa, dan pemuka agama yang kelak menyebarkan ilmu ke berbagai penjuru Sulawesi Selatan. Mereka menulis, menafsir, dan mengajarkan nilai-nilai luhur Bugis agar tak hilang dimakan zaman.
Rumah-rumah adat di Soppeng menjadi pusat pembelajaran, di mana anak muda diajarkan cara berbicara sopan, berpikir benar, dan bertindak sesuai ade’. Di sinilah tradisi Pangadereng sistem hukum dan tata moral Bugis dipelajari secara mendalam dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Soppeng dan Aliansi Tellumpoccoé
Dalam sejarahnya, Soppeng dikenal sebagai salah satu dari tiga kerajaan utama dalam persekutuan Tellumpoccoé, bersama Bone dan Wajo. Persekutuan ini dibentuk sekitar abad ke-16 sebagai ikatan politik dan persaudaraan untuk mempertahankan kedaulatan Bugis dari ancaman luar, terutama dari Kerajaan Gowa yang semakin kuat di Makassar.
Namun Soppeng memiliki posisi unik dalam aliansi ini. Bila Bone berperan sebagai kekuatan militer dan Wajo sebagai suara demokrasi, maka Soppeng menjadi penimbang kebijaksanaan, penasehat, dan penyeimbang dalam setiap keputusan besar.
Dalam banyak kisah, Datu Soppeng dikenal sebagai penengah damai yang mampu meredakan konflik antarkerajaan. Diplomasi dan kecerdasan politiknya membuat Soppeng sering dijuluki sebagai “matahari teduh di langit Bugis”, karena sinarnya menenangkan, bukan membakar.
Masa Kejayaan: Kepemimpinan Datu Soppeng yang Bijaksana
Salah satu masa keemasan Soppeng terjadi di bawah pemerintahan Datu La Temmamala (abad ke-17), seorang raja yang dikenal karena kebijaksanaannya dan dukungannya terhadap penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Di masa ini, Soppeng bukan hanya berkembang dalam bidang politik, tetapi juga dalam pendidikan, hukum, dan kebudayaan.
La Temmamala dikenal sering mengundang ulama dari luar daerah, bahkan dari Minangkabau dan Kalimantan, untuk berdiskusi tentang hukum Islam dan adat Bugis. Dari sinilah muncul sebuah sinergi yang unik antara ade’ (adat) dan sara’ (syariat) dua sistem nilai yang berjalan berdampingan tanpa menindas satu sama lain.
Soppeng pun tumbuh menjadi negeri damai, beradab, dan berilmu tinggi. Pedagang-pedagang dari tanah lain datang untuk berdagang, belajar, bahkan menetap di sana. Rakyatnya hidup dengan harmoni, di bawah payung pemerintahan yang bijaksana dan berlandaskan moralitas tinggi.
Dalam sejarahnya, Soppeng dikenal sebagai salah satu dari tiga kerajaan utama dalam persekutuan Tellumpoccoé, bersama Bone dan Wajo. Persekutuan ini dibentuk sekitar abad ke-16 sebagai ikatan politik dan persaudaraan untuk mempertahankan kedaulatan Bugis dari ancaman luar, terutama dari Kerajaan Gowa yang semakin kuat di Makassar.
Namun Soppeng memiliki posisi unik dalam aliansi ini. Bila Bone berperan sebagai kekuatan militer dan Wajo sebagai suara demokrasi, maka Soppeng menjadi penimbang kebijaksanaan, penasehat, dan penyeimbang dalam setiap keputusan besar.
Dalam banyak kisah, Datu Soppeng dikenal sebagai penengah damai yang mampu meredakan konflik antarkerajaan. Diplomasi dan kecerdasan politiknya membuat Soppeng sering dijuluki sebagai “matahari teduh di langit Bugis”, karena sinarnya menenangkan, bukan membakar.
Masa Kejayaan: Kepemimpinan Datu Soppeng yang Bijaksana
Salah satu masa keemasan Soppeng terjadi di bawah pemerintahan Datu La Temmamala (abad ke-17), seorang raja yang dikenal karena kebijaksanaannya dan dukungannya terhadap penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Di masa ini, Soppeng bukan hanya berkembang dalam bidang politik, tetapi juga dalam pendidikan, hukum, dan kebudayaan.
La Temmamala dikenal sering mengundang ulama dari luar daerah, bahkan dari Minangkabau dan Kalimantan, untuk berdiskusi tentang hukum Islam dan adat Bugis. Dari sinilah muncul sebuah sinergi yang unik antara ade’ (adat) dan sara’ (syariat) dua sistem nilai yang berjalan berdampingan tanpa menindas satu sama lain.
Soppeng pun tumbuh menjadi negeri damai, beradab, dan berilmu tinggi. Pedagang-pedagang dari tanah lain datang untuk berdagang, belajar, bahkan menetap di sana. Rakyatnya hidup dengan harmoni, di bawah payung pemerintahan yang bijaksana dan berlandaskan moralitas tinggi.
Islamisasi dan Perkembangan Spiritualitas
Ketika Islam mulai menyebar di Sulawesi Selatan, Soppeng menjadi salah satu kerajaan yang menerimanya dengan hati terbuka. Islam disambut bukan sebagai ancaman bagi adat, tetapi sebagai penyempurna nilai-nilai moral dan sosial Bugis.
Para to ri Soppeng (orang Soppeng) meyakini bahwa adat dan agama tidak boleh bertentangan, melainkan harus berjalan seiring sebagai dua sisi dari kebenaran yang sama. Maka lahirlah falsafah:
“Ade’ temmappasilaingngi ri sara’, sara’ temmappasilaingngi ri ade’.”
(Adat tidak bertentangan dengan agama, dan agama tidak bertentangan dengan adat.)
Di tangan para ulama dan bangsawan Soppeng, perpaduan ini melahirkan masyarakat yang religius sekaligus beradab kuat dalam keyakinan, tetapi juga lembut dalam sikap.
Kejatuhan dan Warisan Abadi
Seperti kerajaan-kerajaan Bugis lainnya, Soppeng juga mengalami masa sulit ketika kekuatan kolonial Belanda mulai merambah Sulawesi Selatan. Meskipun akhirnya tunduk dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda, rakyat Soppeng tetap mempertahankan identitas dan martabatnya.
Banyak bangsawan dan tokoh adat Soppeng menjadi penggerak perlawanan dan penjaga budaya, memastikan bahwa nilai-nilai luhur Bugis tidak lenyap di bawah bayang-bayang kolonialisme.
Hingga kini, Soppeng masih dikenal sebagai daerah yang menjaga adat dengan disiplin, sekaligus menjadi rumah bagi banyak tradisi seni dan sastra Bugis. Tari-tarian lembut, lontara-lontara tua, dan upacara adat masih hidup, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.
Ketika Islam mulai menyebar di Sulawesi Selatan, Soppeng menjadi salah satu kerajaan yang menerimanya dengan hati terbuka. Islam disambut bukan sebagai ancaman bagi adat, tetapi sebagai penyempurna nilai-nilai moral dan sosial Bugis.
Para to ri Soppeng (orang Soppeng) meyakini bahwa adat dan agama tidak boleh bertentangan, melainkan harus berjalan seiring sebagai dua sisi dari kebenaran yang sama. Maka lahirlah falsafah:
“Ade’ temmappasilaingngi ri sara’, sara’ temmappasilaingngi ri ade’.”
(Adat tidak bertentangan dengan agama, dan agama tidak bertentangan dengan adat.)
Di tangan para ulama dan bangsawan Soppeng, perpaduan ini melahirkan masyarakat yang religius sekaligus beradab kuat dalam keyakinan, tetapi juga lembut dalam sikap.
Kejatuhan dan Warisan Abadi
Seperti kerajaan-kerajaan Bugis lainnya, Soppeng juga mengalami masa sulit ketika kekuatan kolonial Belanda mulai merambah Sulawesi Selatan. Meskipun akhirnya tunduk dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda, rakyat Soppeng tetap mempertahankan identitas dan martabatnya.
Banyak bangsawan dan tokoh adat Soppeng menjadi penggerak perlawanan dan penjaga budaya, memastikan bahwa nilai-nilai luhur Bugis tidak lenyap di bawah bayang-bayang kolonialisme.
Hingga kini, Soppeng masih dikenal sebagai daerah yang menjaga adat dengan disiplin, sekaligus menjadi rumah bagi banyak tradisi seni dan sastra Bugis. Tari-tarian lembut, lontara-lontara tua, dan upacara adat masih hidup, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.
Soppeng di Masa Kini: Cerminan Jiwa Bugis yang Tenang
Di zaman modern, Soppeng sering dijuluki “Kota Kalong”, karena ribuan kelelawar yang terbang di langit senjanya simbol kehidupan yang damai dan alam yang masih lestari. Namun di balik itu semua, Soppeng tetap menyimpan ruh agung masa silam, ruh yang mengajarkan kita tentang makna sejati dari ilmu dan kesetiaan.
Bagi orang Bugis, Soppeng bukan hanya nama wilayah, tetapi juga lambang karakter: bijaksana, tenang, dan setia pada kebenaran.
Dalam tutur para tetua masih sering terdengar pepatah:
“To ri Soppeng temmappasilaingngi lempu’.”
(Orang Soppeng tak akan berpaling dari kejujuran.)
Itulah sebabnya, hingga kini, banyak tokoh besar Bugis yang berasal dari Soppeng dikenal karena kecerdasan, ketenangan, dan kebersihan hatinya.
Penutup
Kerajaan Soppeng mengajarkan bahwa kejayaan bukan hanya diukur dari luas wilayah atau kekuatan pasukan, melainkan dari kedalaman ilmu dan keluhuran budi. Dari tanah ini, dunia Bugis belajar bahwa pengetahuan sejati harus berjalan seiring dengan moralitas, dan kekuasaan sejati harus dilandasi kasih dan kebijaksanaan.
Dalam diamnya pegunungan Soppeng, seolah terdengar bisikan para leluhur:
“Anre temmaé ri gau’ madeceng, nasabaé temmabiasang ri lino.”
(Orang yang tidak berbuat baik tidak akan dikenang di dunia.)
Begitulah, Soppeng mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan, yang abadi bukanlah tahta atau kemegahan, tetapi kebaikan dan kebijaksanaan yang ditinggalkan untuk generasi selanjutnya.
Di zaman modern, Soppeng sering dijuluki “Kota Kalong”, karena ribuan kelelawar yang terbang di langit senjanya simbol kehidupan yang damai dan alam yang masih lestari. Namun di balik itu semua, Soppeng tetap menyimpan ruh agung masa silam, ruh yang mengajarkan kita tentang makna sejati dari ilmu dan kesetiaan.
Bagi orang Bugis, Soppeng bukan hanya nama wilayah, tetapi juga lambang karakter: bijaksana, tenang, dan setia pada kebenaran.
Dalam tutur para tetua masih sering terdengar pepatah:
“To ri Soppeng temmappasilaingngi lempu’.”
(Orang Soppeng tak akan berpaling dari kejujuran.)
Itulah sebabnya, hingga kini, banyak tokoh besar Bugis yang berasal dari Soppeng dikenal karena kecerdasan, ketenangan, dan kebersihan hatinya.
Penutup
Kerajaan Soppeng mengajarkan bahwa kejayaan bukan hanya diukur dari luas wilayah atau kekuatan pasukan, melainkan dari kedalaman ilmu dan keluhuran budi. Dari tanah ini, dunia Bugis belajar bahwa pengetahuan sejati harus berjalan seiring dengan moralitas, dan kekuasaan sejati harus dilandasi kasih dan kebijaksanaan.
Dalam diamnya pegunungan Soppeng, seolah terdengar bisikan para leluhur:
“Anre temmaé ri gau’ madeceng, nasabaé temmabiasang ri lino.”
(Orang yang tidak berbuat baik tidak akan dikenang di dunia.)
Begitulah, Soppeng mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan, yang abadi bukanlah tahta atau kemegahan, tetapi kebaikan dan kebijaksanaan yang ditinggalkan untuk generasi selanjutnya.
Admin : Andi Nanda
.jpg)