Pembagian Gender dalam Suku Bugis

Sistem Sosial dan Peran Gender Suku Bugis
Suku Bugis, yang berakar kuat di tanah Sulawesi Selatan, dikenal bukan hanya karena keberanian pelaut dan kejayaan kerajaannya, tetapi juga karena sistem sosialnya yang kompleks, berlapis, dan sarat nilai-nilai filosofi. Dalam kehidupan masyarakat Bugis, tatanan sosial bukan sekadar pengelompokan manusia berdasarkan status atau garis keturunan, melainkan sebuah jaringan nilai yang membentuk harmoni antara martabat, kehormatan, dan tanggung jawab sosial.
 
1. Struktur Sosial: Hierarki yang Lembut tapi Tegas
Secara tradisional, masyarakat Bugis terbagi ke dalam beberapa lapisan sosial yang dikenal dengan istilah “ana’ karaeng” (bangsawan), “to maradeka” (orang merdeka atau rakyat biasa), dan “ata” (hamba sahaya). Meskipun sistem ini tampak hierarkis, dalam praktiknya, masyarakat Bugis menanamkan rasa hormat yang tinggi terhadap semua lapisan sosial. Seorang bangsawan memang dihormati karena garis keturunannya, tetapi kehormatan sejati tidak hanya datang dari darah biru, melainkan dari sikap “siri’”—harga diri dan kehormatan diri yang menjadi napas kehidupan orang Bugis.

Nilai siri’ ini menjadi pedoman utama dalam setiap tindakan dan keputusan hidup. Seorang Bugis akan menjaga siri’-nya bahkan dengan nyawa sekalipun. Dalam pandangan mereka, kehilangan harta tidaklah seberapa dibanding kehilangan siri’, karena siri’ adalah marwah yang menentukan eksistensi seseorang di mata masyarakat dan di hadapan leluhur.
 
2. Peran Gender: Keseimbangan antara Lelaki dan Perempuan
Salah satu keunikan masyarakat Bugis adalah pandangan mereka terhadap gender. Di tengah sistem sosial yang menjunjung tinggi kehormatan, perempuan Bugis memiliki posisi yang kuat dan terhormat. Dalam sejarahnya, banyak perempuan Bugis yang tampil sebagai tokoh penting baik dalam politik, diplomasi, maupun budaya.

Konsep “Makassaraé ri alebbirenna” (wanita sebagai penopang kehidupan) menggambarkan bagaimana perempuan dipandang bukan sekadar pelengkap, tetapi sebagai inti kekuatan rumah tangga dan penjaga nilai-nilai moral keluarga. Dalam budaya Bugis, perempuan memegang kendali atas urusan domestik dan ekonomi rumah tangga, serta turut menentukan keputusan-keputusan besar, terutama yang menyangkut kehormatan keluarga.

Sementara itu, laki-laki Bugis dikenal dengan sifat warani berani, tegas, dan bertanggung jawab. Mereka dipersiapkan sejak muda untuk menjadi pelindung keluarga dan pembela siri’. Namun keberanian itu tidak berarti keras hati; seorang laki-laki Bugis sejati juga dituntut untuk memiliki kelembutan, kebijaksanaan, dan kesetiaan terhadap janji reso temmangingngi namalomo naletei pammase dewata, “usaha yang tak pernah menyerah akan disertai berkah Tuhan.”
 
3. Fenomena Lima Gender dalam Budaya Bugis
Salah satu aspek paling menarik dari sistem sosial Bugis adalah pengakuan terhadap lima identitas gender sesuatu yang unik dan sangat maju untuk ukuran tradisi Nusantara. Lima gender tersebut adalah:
  • Oroané - laki-laki sejati, dengan peran maskulin tradisional.
  • Makunrai - perempuan sejati, berperan feminin dan menjaga harmoni rumah tangga.
  • Calalai - perempuan yang mengambil peran sosial laki-laki.
  • Calabai - laki-laki yang mengambil peran sosial perempuan.
  • Bissu - sosok spiritual yang dianggap suci, memadukan unsur maskulin dan feminin secara seimbang.
Para Bissu memiliki posisi istimewa dalam kehidupan ritual dan adat Bugis. Mereka berperan sebagai penjaga pusaka, penghubung antara dunia manusia dan dunia roh, serta pelantun doa-doa sakral dalam upacara adat dan kerajaan. Eksistensi mereka mencerminkan betapa luasnya pemahaman masyarakat Bugis tentang identitas dan spiritualitas, jauh melampaui sekadar pembagian gender biologis.

4. Nilai-Nilai dalam Hubungan Sosial
Masyarakat Bugis hidup dengan prinsip “siri’ na pacce” kehormatan dan empati. “Siri’” menjaga seseorang agar tidak melakukan tindakan memalukan, sementara “pacce” (atau “pesse” dalam dialek lain) mengajarkan kepedulian dan rasa iba terhadap penderitaan sesama. Kedua nilai ini menjadi penyeimbang dalam kehidupan sosial: satu menjaga kehormatan diri, yang lain menumbuhkan kasih sayang dan solidaritas sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, kedua nilai ini terwujud dalam bentuk gotong royong (massolong), saling bantu dalam pesta adat, serta solidaritas yang tinggi antarwarga kampung. Tidak heran jika masyarakat Bugis dikenal sangat kompak dan berjiwa kolektif mereka hidup bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk menjaga nama baik keluarga dan komunitasnya.

Harmoni antara Martabat dan Kemanusiaan
Sistem sosial dan peran gender dalam budaya Bugis bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan refleksi dari kebijaksanaan yang menempatkan manusia dalam keseimbangan antara kehormatan dan kasih sayang, antara keberanian dan kelembutan, antara kewajiban pribadi dan tanggung jawab sosial.

Dalam dunia modern yang serba cepat ini, nilai-nilai Bugis mengajarkan bahwa harga diri tidak diukur dari kedudukan, tetapi dari bagaimana seseorang memegang teguh “siri’ na pacce” di setiap langkah hidupnya.

Admin : Andi Arnita S

Bagikan ke Media Sosial :
Artikel Terkait :